Rabu, 16 November 2011

Mengembalikan Kesakralan Seni Bali

 
Tulisan resensi pertamaku(so, mohon banget kritiknya) yang terbit di Koran Jakarta.

Pulau Bali selalu menarik untuk diceritakan dan ditulis. Sejak lama, film, novel, puisi ataupun lagu tentang Bali melenggang dengan manis di percaturan sastra maupun industri musik Indonesia. Kata "Bali" seakan menjadi jaminan sebuah karya diterima masyarakat, bermutu, serta bernilai komersial tinggi.

Konon, nama "Bali" mulai dikenal ketika resesi dahsyat yang melanda dunia Barat tahun 1930-an, sehingga membuat banyak orang melakukan perjalanan ke Timur. Salah satunya adalah Miguel Covarrubias. Kekagumannya akan Bali membuahkan Island of Bali yang kala itu merupakan buku terbaik yang pernah ditulis tentang pulau ini.

Karya Miguel yang berisi kekaguman-kekaguman dan puji-pujian Bali lantas dikutip berkali-kali, diperbincangkan dalam pertemuan pariwisata, dicetak di atas brosur turisme. Ini membuat banyak orang di dunia tertarik berkunjung ke pulau dewata tersebut. Tulisan-tulisan tentang Bali pun semakin banyak, baik dalam bentuk buku, makalah, hingga catatan ilmiah.

Ada juga skripsi para mahasiswa sosiologi dan antropologi yang memuat kekaguman, pujian, serta sanjungan Bali. Sayang, kebanyakan hasil karya orang asing. Buku tentang Bali jarang ditulis orang Bali sendiri karena daerah ini tak memiliki penulis sebanyak pelukis, penari, dalang, atau pelaku seni lainnya.

Jangan Mati di Bali:Tingkah Polah Negeri Turis ini seakan menjadi penyeimbang tulisan-tulisan orang asing tentang tadi. Melalui buku ini, pembaca bisa mengetahui ada sisi-sisi kehidupan masyarakat asli setempat yang tidak terungkap-di balik geliat dan semarak pariwisatanya.

Berkah yang dibawa turis ke Bali ternyata menyisakan beberapa masalah sosial masyarakat asli Bali. Salah satu yang tertuang dalam buku ini, melunturnya penghayatan orang Bali terhadap seni yang dimiliki. Pertunjukan seni sering ditampilkan hanya untuk mengeruk dollar dari kantong turis.

Bahkan, seni sakral, yang seharusnya dihayati dalam upacara keagamaan dan tidak disuguhkan untuk orang luar, kadang dipertunjukkan pelaku seni Bali untuk memenuhi keinginan turis. Topeng brutuk yang sakral dari Desa Trunyan, misalnya, pernah dipentaskan dalam pawai Pesta Kesenian Bali (PKB). Begitu juga tari Meborbor dari Desa Merta, Kabupaten Bangli, dipentaskan dalam PKB. Padahal keduanya adalah seni sakral, bukan seni profan (hlm 99).

Kisah-kisah dalam buku ini ditulis dalam kurun waktu seperempat abad, sepanjang tahun 1986 hingga 2011. Seluruh cerita pernah dimuat di media lokal maupun nasional. Satu hal yang membuat buku ini menarik untuk dibaca, penulis dapat menyuguhkan cerita-cerita dengan bahasa yang ringan dan sederhana, namun tidak mengurangi bobot inti cerita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar