Rasa penasaran yang mendalam terhadap
Bangkok membawa saya ‘nekat’ traveling ke kota yang sering disebut surga bagi
para pelancong dunia tersebut.
Matahari seakan malu untuk
menampakkan wajahnya saat ‘burung besi’ yang saya tumpangi mendarat di Bandara
Suvarnabhumi , pelabuhan udara internasional kebanggaan masyarakat Thailand,
yang menggantikan peran Bandara Don Muang yang kini hanya melayani penerbangan
rute domestik.
Bandara ini terdiri dari empat
lantai dan merupakan bandara dengan terminal tunggal terbesar kedua di dunia. Kemegahan
ini tidak membuat saya linglung untuk mencari passport control karena pihak bandara memberikan petunjuk arah yang
cukup jelas. Banyaknya pelancong yang datang ke Bangkok mengakibatkan antrian
panjang, walaupun pihak bandara telah menyediakan pos pengecekan paspor
sebanyak jumlah personil Cherrybelle.
Tiba gilirannya, saya menangkupkan kedua tangan di depan
dada kepada petugas, persis seperti yang saya pelajari di Youtube. Gerakan ini disebut WAI, salam hormat khas Thai. Selesai
urusan imigrasi, saya berjalan mencari SA City Line, moda transportasi massal
untuk menuju downtown Bangkok . Awalnya agak sulit mencarinya, karena saya
tidak menemukan petunjuk arah bertuliskan ‘SA City Line’, setelah beberapa kali
naik turun eskalator, seorang petugas yang wajahnya mirip mas-mas tukang cukur
rambut di daerah Meruya, saya jadikan ‘korban’ pertama untuk saya tanya2.
Beliau menjawab “Left, left” sambil
mengarahkan telunjuknya ke papan petunjuk bertuliskan “To Train”, pantas saja
dari tadi tidak ketemu, ternyata seharusnya saya mengikuti directions bertuliskan
To Train, bukan SA CityLine, saya pun mengucap khap kun kap kepada si petugas sebagai ucapan terima kasih.
Sebelum memasuki areal stasiun CityLine, saya melihat 7/11,
jaringan minimarket yang banyak terdapat di Thailand dan Malaysia. Saya mampir
dengan tujuan untuk merecehkan pecahan uang 500 Baht yang saya miliki. Saya
hanya membeli Deo dan air minum kemasan Chang, habis sekitar 60 Baht. Si mbak
kasir berbicara bahasa Thai, saya hanya tersenyum sambil mengeluarkan selembar
500 Baht dan dia menyerahkan kembaliannya sambil mengucapkan khap kun kha, satu-satunya frase yang
saya mengerti dari semua ucapan si mbak kasir kala itu.
SA Cityline, Stasiun, dan Peta.
“oohh, sorry, push it
Sir!” ucap seorang petugas menjelaskan pada saya cara penggunaan Ticket
Vending Machine, sesaat setelah si petugas berparas jelita tersebut ‘merasa
berdosa’ karena telah mengajari saya menggunakan bahasa Thai.
Moda ini baru mulai beroperasi pada bulan Juni 2011, namun
sistem sudah dibuat dengan matang. Pintu masuk akan terbuka jika koin yang
didapat dari Vending Machine di-scan oleh
sebuah alat detector, dan jalan keluar dari stasiun tujuan pun dibuat
sedemikian rupa hingga tidak ada jalan keluar lain kecuali jalan yang resmi,
dimana kita harus memasukkan koin tadi hingga tertelan oleh machine box terakhir. Jauh berbeda
dengan apa yang saya alami di stasiun Rangkasbitung beberapa waktu lalu,
penumpang bebas keluar masuk tanpa membeli karcis melewati celah-celah yang
‘tersedia’ tanpa ada seorang petugas pun yang berjaga di ‘daerah perbatasan’
sana.
Disaat sedang asyik-asyiknya mengkhayal kapan Jakarta bisa
punya moda seperti ini, seorang pria tambun menghampiri saya dan berkata “excuse me, are u Thai?” tanpa jeda dia
melanjutkan “how can I get this place?”
sambil menunjuk-nunjuk satu titik di peta kota Bangkok yang banyak tersedia
gratis di areal bandara.
“ummm, sorry, I dont
know, it’s my first time for being here” jawab saya
“where are u from?
Malaysia?”
“Indonesia!”
“oh, sama dong, susah ya nyari orang yang bisa ditanyain
disini” curhat dia
Yaelah mas, orang Indonesia toh,
ga liat apa gue pake baju Kick Andy! Lagian kenapa nggak tanya sama petugas aja
sih? Umpat saya, dalam hati.
Kereta datang. Semua penumpang keluar karena ini stasiun
terakhir. Baru setelahnya, saya dan penumpang lain yang hendak menuju downtown
Bangkok bergegas masuk. Saya memandangi sekitar, takjub akan kebersihan interiornya,
yang tidak mampu disaingi oleh kereta Commuter Line Jabotabek. Namun sebagian
penumpang tidak mendapatkan tempat duduk, beruntung saya bukan bagian dari
mereka.
Duduk berhadapan dengan saya adalah pria gaek asal Jerman dan
pasangannya yang orang lokal. Sepanjang perjalanan, pasangan ini agak rempong, mereka dengan Pede-nya bercakap
dan bercanda dengan tingkat volume suara yang cukup mengganggu. Si wanita
berparas bak artis lawas Nova Eliza, namun saya agak menyangsikan orientasi
gender nya ketika mendengar suaranya yang besar seperti Jeremi Tety—pembaca
berita stasiun TV swasta—dan melihat betisnya yang seukuran talas Bogor. Tidak
ada yang istimewa hingga saya turun di Makkasan Station kecuali melihat dua
masjid besar sepanjang perjalanan. Sebuah pengumuman mengakhiri lamunan saya, “next station: Makkasan. This station interchangeable
with MRT station”.
Arus manusia selalu
bergeliat di setiap stasiun pemberhentian, kali ini giliran saya dan puluhan
orang lainnya bergegas keluar dari perut kereta untuk kemudian menuju ke tempat
tujuan masing-masing, Tujuan saya adalah stasiun MRT Petchaburi, yang menurut
peta terintegrasi dengan stasiun Makkasan tempat saya berpijak saat ini.
Derap kaki saya melangkah mengikuti setiap papan petunjuk
yang bertuliskan “To MRT Station”. Saya terus melangkah hingga memutuskan
berhenti sejenak untuk memastikan saya
berada di jalur yang benar, “kok udah jauh tapi kok nggak sampai-sampai yah”.
Dari jarak selemparan batu, terlihat dua turis sipit yang juga tampak
kebingungan sedang terlibat pembicaraan dengan petugas. Saya bergegas agar bisa
mengikuti arah si turis sipit yang saya rasa juga kesulitan mencari arah menuju
stasiun moda transportasi bawah tanah tersebut
------5 menit kemudian-------------
Stasiun MRT belum juga terlihat, padahal saya sudah keluar
dari kompleks SA Cityline Makkasan. Saya sudah berada di jalan raya sekarang,
inilah jalan yang ditunjukkan oleh petugas yang berdiri tegap di pintu keluar
stasiun Cityline tadi. Bingung pun melanda, saya mengeluarkan sebuah benda dari
dalam tas kecil. Sebuah benda yang penciptaannya diinisiasi oleh penjelajah
agung semacam Marcopolo dan Columbus.
Dahulu, para penjelajah mencatat rute
perjalanannya di atas perkamen, menggambarnya di atas kertas dengan harapan
rekan-rekan mereka, atau keturunan mereka di kampung halaman dapat mengulangi
perjalanan ke batas bumi. Benda itu adalah peta. Saya pandangi peta Bangkok ini lekat-lekat,
terlihat jelas bahwa di peta ini stasiun MRT Pethchaburi tersambung dengan
stasiun Cityline Makkasan. Namun, peta, yang kisah kelahirannya memiliki tujuan
yang mulia, kali ini mengelabuhi saya. Ya, peta ini telah berdusta!
wah kebetulan sekali liat post ini, bulan oktober saya rencana ke sana :D doakaaannn :D
BalasHapuswah, semangat ya marisha..jangan lupa nanti share pengalamannya ya
HapusAlhamdulillah blognya Adam keisi lagi... Keep writing ya dam, hehe
BalasHapusalhamdulillah tas..mudah2an konsisten nih..matursuwun yo
Hapushahhhh?? jadi intinya peta MRT BKK ga bisa dipercaya?
BalasHapusgaswaattt >.<
penasaran sama ending : stasiun MRT Pethchaburi tersambung dengan stasiun Cityline Makkasan..jadi dari MRT Ke Cityline gimana caranya?
mungkin di kasus ini aja met..gue posting tulisan ini di grup FB Backpacker Dunia juga mereka pada comment dulu kebingungan pas ke Bangkok gara2 kasus ini nih..
Hapuslu jadi berangkat kapan? jadi ntar lu keluar dari stasiun CityLine, ngeliat jalan raya, nyebrang rel, trus ntar di kanan jalan ada deh stasiun MRT nya..
Wah sayang waktu saya berkunjung ke bangkok tidak memanfaatkan MRT mereka.... hee keep writing adam..
BalasHapus