Senin, 14 November 2011

Negeri Seribu Pagoda yang Menggoda

Tulisan pertama saya yang terbit di Radar Bogor, rubrik Traveling, 16 Oktober 2011.

Sesuai dengan julukannya, Thailand merupakan negara yang memiliki begitu banyak pagoda (dalam bahasa setempat disebut wat). Dua yang paling terkenal berada di pusat kota Bangkok- Wat Pho dan Wat Arun.

Langit siang itu cerah saat saya beranjak dari tempat menginap di Sutthisan Road, sebuah daerah di timur laut kota Bangkok, menuju pusat kota. Berbagai macam situs dapat dikunjungi di pusat kota. Keindahan duo Wat Pho dan Wat Arun sayang untuk dilewatkan.



Ada beberapa cara untuk menuju kedua tempat tersebut. Yang paling praktis ialah menggunakan angkutan khas Thailand yang disebut Tuk-tuk. Jangan lupa untuk tawar menawar agar tidak dicurangi oleh sang supir. Cara lainnya, yang saya lakukan kala itu adalah dengan menggunakan perahu menyusuri sungai Chao Phraya dari dermaga sentral (Sathorn) yang terintegrasi dengan stasiun skytrain Saphan Thaksin.

Berhubung akhir pekan, armada yang tersedia didominasi oleh perahu turis Chao Phraya Express Boat yang hanya berhenti di dermaga tertentu yang memiliki spot turistik, harga tiket 30 Baht. Pada hari kerja, perahu 'ekonomi' lebih banyak beroperasi, tiketnya setengah dari perahu turis, yaitu 15 Baht dan berhenti di setiap dermaga. Seorang pemandu tak henti-hentinya menjelaskan apa yang ada di sekitar kiri-kanan tepi sungai dengan dua bahasa- Thai dan Inggris. Setiap mendekati pemberhentian untuk bongkar muat penumpang, sang pemandu memberitahukan tempat wisata apa sajakah yang bisa dikunjungi di dekat dermaga pemberhentian tersebut. Misalnya ketika perahu sudah mendekat ke dermaga Ratchawongse, pemandu menjelaskan "bagi yang ingin ke Chinatown, bisa turun di dermaga ini". Hal ini tentu sangat membantu para penderita disoriented, orang yang kurang mampu membaca peta.

Perahu telah sampai di dermaga N8, tujuan saya, dari seberang terlihat ke-eksotis-an Wat Arun. Jarak Wat Pho dan Wat Arun sebenarnya hanya sekitar dua ratus meter, namun dipisahkan oleh sungai Chao Phraya. Saya putuskan untuk mengunjungi Wat Pho terlebih dahulu. Sebuah pasar tradisional menyambut pengunjung yang baru keluar dari dermaga, penjaga kuliner khas Thailand seperti Pad Thai dan Tom Yam mudah dijumpai disini. Suasananya mirip seperti di Indonesia, ada seorang kuli yang sedang memanggul beras, tukang daging yang hanya memakai kaos oblong, hingga pengemis yang 'memamerkan' kesengsaraannya setiap ada yang orang yang lewat.

Wat Pho berseberangan dengan pasar ini, 50 Baht adalah harga yang dipatok sebagai harga tiket masuk. Di dalam terdapat aneka kuil dengan patung Buddha yang berlapis emas. Ada yang duduk, berdiri, dan yang paling terkenal yaitu Sang Buddha Tidur(reclining Buddha) yang memiliki panjang 46 meter dan tinggi 15 meter. Wat Phra Chettuphon Wimon Mangkhalaram Ratchaworamahawihan adalah nama resmi dari Wat Pho. Konon, situs ini merupakan tempat lahirnya Thai Massage, seni memijat yang menjadi ciri khas Thailand. Terlihat banyak turis yang menikmati berkeliling Wat Pho, ditemani oleh pemandu sewaan mereka masing-masing. Anehnya, tidak ada yang menawari saya jasa pemandu. Mungkin saya disangka orang pribumi.

Setelah puas berkeliling dan foto-foto, saya balik menuju dermaga N8 (Tha Tien), membeli tiket untuk menyeberang mengunjungi Wat Arun seharga 3 Baht saja. Harga tiketnya sama dengan Wat Pho yaitu 50 Baht. Pengunjung biasanya menaiki tangga yang curam untuk mencapai puncak wat. Kehati-hatian sangat dibutuhkan saat menaiki tangga, karena sudut kemiringannya hampir delapan puluh derajat. Pengunjung juga bisa berfoto di papan lukisan orang berpakaian tradisional lengkap yang bagian wajahnya kosong, sehingga bisa diisi dengan wajah pengunjung, tarifnya 40 Baht. Selain itu juga ada yang menawarkan penyewaan pakaian tradisional khas Thailand dengan tarif 200 Baht untuk foto-foto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar